Merajut Asa di Hutan Belitung Timur

Menggerutu angin menyambut mentari
Dedaunan terhuyung lelah berseri
Tunggu
aku kata burung kenari
Terseok ia melambaikan jemari
Panggilan jangkrik
kian merendah
Dari balik
semak yang bergetah
Pepohonan pun
tegak melemah
Mencari
sandaran untuk dipapah
Lirih
ia alirkan kisah
Tentang
alam dan jiwa yang rusak
Semuanya
retak tak lagi gairah
Mahkota
hilang tak mampu bercelak
Kutarik kanvas
dari balik jeruji
Kuseret kuas
kuajak berdansa
Kusemai warna
hingga berpelangi
Kutiupkan napas
hingga bernyawa
(Jiwa
Hutanku, 21 Oktober 2025)
Hutan punya jiwa. Hutan punya nyawa. Hutan
adalah kita. Hutan dan kita satu jiwa. Bagaimana jika hutan tiada? Hilanglah
jiwa kita. Sayangnya, cerita hutan tak lagi sama, sulit dicerna tapi ini nyata.
Potongan demi potongan puzzle mulai terenggut dari alasnya. Menyisakan
kerontang yang mendahaga. Haus dan menyesakkan!
Mestinya kita bersyukur dilahirkan di
bumi yang sempurna. Sang Pencipta telah menghadiahi planet ini dengan kekayaan
alam yang melimpah. Hutan dengan keanekaragaman hayatinya membuat manusianya
hidup dan bernapas. Tahukah kamu untuk apa hutan itu tercipta? Mengapa
keberlangsungan hidup manusia bergantung padanya? Lalu mengapa manusia harus
merawat dan menjaganya agar tetap lestari? Mari dengarkan, dengarkanlah
ceritaku ini.
Bumi, planet yang kita tempati ini
terdiri dari 70 persen lautan, dan 30 persennya lagi berupa daratan. Sekitar 31
persen dari daratan tersebut ditutupi oleh hutan. Jika dihitung, maka luas
hutan yang menyelimuti permukaan planet ini mencapai 4 hingga 5 miliar hektar.
Keberadaannya menyebar di berbagai benua di belahan bumi. Namun lebih dari
separuh hutan dunia tersebut berada di kelima negara ini, yakni Rusia, Brasil, Kanada, Amerika
Serikat, dan Tiongkok. Negara-negara ini memiliki hamparan hutan terluas dan
terbesar di dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita
juga memiliki hutan yang luas. Luasnya mencapai 92 juta hektar, dan angka ini
menempatkan hutan kita berada di posisi kedelapan setelah Australia dan Kongo. Walaupun
bukan menjadi yang terluas di dunia, namun hutan Indonesia juga memegang
peranan penting dalam menjaga iklim global. Mengapa? Karena hutan kita memiliki
pepohonan hijau yang rimbun, yang berfungsi menyerap polutan, mengatur suhu, serta
pola hujan. Hutan juga dapat membantu menahan banjir dan tanah longsor yang diakibatkan
oleh perubahan iklim.
![]() |
| Hutan hujan tropis yang rimbun dengan pepohonan hijau |
Untuk kamu ketahui, tak semua negara
memiliki hutan yang bisa ditumbuhi oleh pepohonan hijau yang bisa hidup di
sepanjang musim. Hanya negara dengan hutan hujan saja yang memilikinya. Beberapa
negara di dunia yang beruntung memiliki hutan hujan terluas di antaranya adalah
Brasil dengan hutan Amazonnya, hutan luas di Cekungan Kongo di benua Afrika,
dan tentunya Indonesia.
Selain itu, hutan juga menjadi rumah atau
tempat tinggal bagi beragam tumbuhan dan satwa liar. Di hutan hujan tropis
bahkan terdapat ratusan ribu spesies hewan dan tumbuhan. Ini karena iklim di
hutan hujan tropis yang mendukung bagi tanaman dan satwa liar ini untuk
berkembangbiak, di antaranya dengan tanahnya yang subur, sinar matahari dan air
yang melimpah, serta tersedianya berbagai sumber makanan. Struktur pepohonan
yang berbentuk seperti kanopi pun menjadi tempat berlindung, bersembunyi, dan
berinteraksi bagi beberapa satwa liar yang hidup di hutan.
Menjaga hutan berarti menjaga paru-paru
dunia. Menjaganya agar tetap sehat. Itulah sebabnya mengapa kita harus merawat dan
melindungi hutan dengan sebaik-baiknya. Tak hanya baik bagi bumi itu sendiri, namun
juga baik bagi makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Jadi, jangan
beranggapan bahwa hutan itu hanyalah sekumpulan pohon yang berdiri rapat di
atas tanah. Hutan merupakan penjaga kehidupan, pengatur alam, dan pelindung
bumi. Untuk itulah ia tercipta.
Namun sayang beribu sayang, keberadaan hutan ini terus berkurang dari waktu ke waktu. Ada berbagai hal yang menjadi penyebabnya. Dan jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka yakinlah, hutan itu akan lenyap satu persatu. Bayangkan, bagaimana nasib satwa dan keanekaragaman hayati lain yang hidup di dalamnya. Belum lagi perubahan iklim yang terjadi, erosi dan tanah longsor, serta siklus air yang terganggu.
Hutanku Menyusut. Mengapa?
![]() |
| Penyebab menyusutnya kawasan hutan |
1.
Alih Fungsi Lahan dan Eksploitasi yang Berlebihan
Eksploitasi dan
alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebab mengapa hutan mengalami penyusutan.
Banyak hutan yang kemudian dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, perkebunan,
perumahan, hingga bangunan pabrik. Beberapa proyek pembangunan bahkan juga
mengorbankan keberadaan hutan. Misalnya untuk pembangunan jalan, bendungan,
bandara, stadion, dan lainnya. Pilihannya hanya antara hutan, uang, dan pembangunan.
Entah seberapa banyak orang yang mau memikirkan alam.
2. Penebangan Liar
Ada beberapa
orang tak bertanggung jawab yang melakukan penebangan pohon di hutan secara
liar, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Jika yang ditebang hanya satu
batang pohon, mungkin masih dimaklumi. Mungkin saja ada masyarakat di sekitar hutan
yang memerlukannya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka, yakni rumah untuk tempat
tinggal dan berteduh. Namun jika yang ditebang sampai puluhan bahkan ratusan
pohon? Ini sama saja dengan menghabisi hutan.
Alasan penebangan
pohon pun bermacam-macam. Ada yang dijual untuk dijadikan sebagai bahan
bangunan, furnitur, bahan baku kertas, atau kebutuhan industri lainnya. Entah
mereka sadar atau tidak, perbuatan mereka ini telah menghancurkan kehidupan
hutan di muka bumi. Entah mereka peduli atau tidak, saat hutan tak lagi ada,
tak lagi bernyawa, maka bencana akan segera tiba. Entah kini atau lusa.
3. Pertambangan dan
Pencemaran
Selain dialihfungsikan
untuk berbagai keperluan, kawasan hutan juga sering dieksploitasi menjadi lahan
pertambangan. Keinginan untuk memperoleh bahan mineral dan logam
sebanyak-banyaknya, membuat pembukaan lahan tambang makin merajalela. Bahan-bahan
ini memang kebanyakan ditemukan di dalam tanah yang ada di kawasan hutan hujan.
Penggalian demi penggalian terus
dilakukan, dari yang awalnya hanya seukuran sumur, terus melebar hingga sebesar
kawah raksasa.
Tak hanya habis
ditebang, tanah dan sungai di hutan juga rawan tercemar oleh berbagai zat kimia
yang digunakan saat proses penambangan. Pencemaran lingkungan, baik darat,
udara, serta perairan dapat menyebabkan kepunahan beragam tanaman serta hewan yang
tinggal di hutan.
Selain penting sebagai sumber oksigen dan
air bersih, hutan dengan pepohonannya yang lebat memiliki berbagai manfaat
lainnya. Tak hanya bagi manusia, namun juga bagi satwa liar dan tanaman yang hidup
di hutan tersebut. Kerusakan hutan dapat mempengaruhi keseimbangan rantai
makanan, serta mempengaruhi populasi hewan yang menjadikan tanaman di hutan
sebagai sumber makanan dan tempat berlindungnya.
Tak dipungkiri, hutan memang adalah
sumber daya alam dengan potensinya yang luar biasa. Namun itu tak lantas menjadikan
manusia semena-mena dan bisa memerasnya begitu saja. Memiliki kelebihan dari
makhluk hidup lainnya, manusia dianugerahi otak untuk berpikir dan hati untuk
merasa. Di saat hutan mulai rusak, manusia harusnya peka dan berpikir bagaimana
cara memperbaikinya. Kerusakan hutan tak hanya membawa konsekuensi yang serius
bagi lingkungan, namun juga bagi kehidupan manusia itu sendiri. Tapi haruskah
menunggu hutan rusak dulu baru manusia mau berpikir? Padahal kita bisa menjaganya
tetap hijau dan lestari tanpa perlu merusaknya.
Hutan dan Wisata, Dinikmati untuk Dijaga
Bersyukurlah, ternyata masih ada orang yang
mau bersahabat dan peduli akan keberlangsungan hidup hutan. Orang itu adalah
Febriansa, pemuda asal Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Pria berusia
32 tahun ini dikenal masyarakat setempat sebagai si penjaga hutan, yakni sebuah
hutan yang membentang luas di belakang Desa Kelubi, Kecamatan Manggar, Belitung
Timur.
![]() |
| Febriansa, penjaga hutan Desa Kelubi |
Febriansa memulai perjuangannya sebagai penjaga
dan pejuang konservasi hutan setelah ia menamatkan kuliahnya di sebuah
perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. Kecintaannya pada desa kelahirannya, membuat
ia lebih memilih untuk pulang, dan mulai membaktikan diri pada kampung halamannya.
Siapa sangka jika apa yang dilakukannya saat itu, nantinya akan memberikan
dampak yang sangat besar bagi Desa Kelubi, desa tempat ia lahir dan dibesarkan. Namun apakah jalan yang dilalui
Febriansa sebagai penjaga hutan itu mulus tanpa ada kerikil dan onak berduri? Beginilah
ia berkisah.
Sore itu Febriansa sedang duduk santai di
teras depan rumahnya. Ia asyik bercengkerama dengan teman-teman sebayanya.
Mereka adalah para pemuda desa yang sering berkumpul dan ngobrol santai di rumah
Febriansa. Banyak cerita yang mengalir. Mulai dari hal-hal kecil hingga peristiwa
besar yang sedang terjadi kala itu. Topiknya pun beragam, tak hanya sebatas persoalan pribadi mereka saja, namun juga cerita tentang kemajuan desa mereka.
Dalam obrolannya, Febriansa dan
teman-teman sering membicarakan tentang hamparan hutan berbukit yang terletak di
belakang kampung mereka, yang biasa disebut warga dengan nama Bukit Pemantauan.
Mereka bercerita betapa beruntungnya desa mereka yang memiliki hutan berbukit
dengan pemandangannya yang indah. Apalagi di bukit tersebut juga terdapat
bebatuan granit yang unik.
![]() |
| Desa Kelubi dan kemolekan hutannya |
Ternyata selama ini Bukit Pemantauan ini sering
dibicarakan warga lokal sebagai lokasi yang bagus untuk dijadikan tempat wisata. Namun sampai saat itu belum ada orang atau kelompok organisasi yang
berniat dan berminat untuk mengelolanya. Dari perbincangan keseharian itulah akhirnya
timbul keinginan dari para pemuda ini untuk mengelola beberapa area di perbukitan
tersebut untuk dijadikan sebagai tujuan wisata. Obrolan ringan mereka pun mulai
berubah ke arah yang lebih serius. Mereka kemudian melakukan diskusi demi
diskusi untuk mempersiapkan hal ini.
Pertama-tama, mereka sepakat untuk
membentuk sebuah kelompok dulu, lengkap dengan kepengurusannya. Mereka lalu mendirikan
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dengan mendapuk Febriansa sebagai ketua kelompok.
Sejak itulah Febriansa memulai perjuangannya sebagai penjaga hutan wisata. Ia
dan kelompoknya bergerak untuk mengembangkan dan memajukan wisata hutan yang
ada di desa mereka agar dikenal oleh masyarakat luas, sekaligus melindungi hutan tersebut agar tetap lestari.
![]() |
| Memandu wisatawan dari mancanegara menyusuri hutan Bukit Pemantauan |
Secara perlahan wisata hutan yang mereka
kelola mulai dilirik. Bahkan wisata ini mulai menarik perhatian pihak Dinas Pariwisata,
yang kemudian mengadakan kegiatan besar di lokasi tersebut. Hingga suatu waktu
Febriansa tersadar bahwa kegiatan yang mereka lakukan ternyata belum legal. Ia
dan kelompoknya seharusnya mengajukan izin terlebih dulu untuk mengelola
wilayah hutan tersebut. Ia kemudian mengajukan izin ke pihak terkait.
Bulan demi bulan Febriansa menunggu kabar keputusan perizinan yang diajukannya. Namun yang dinanti-nanti tak juga ada
kabar beritanya. Hingga suatu hari, penantian panjang Febriansa itu pun membuahkan hasil.
Di awal tahun 2017, Pokdarwis yang dipimpin Febriansa diminta untuk melakukan
pengajuan ulang. Selain itu, mereka juga mendapatkan pendampingan dan penyuluhan
dari Dinas Kehutanan.
Tak selang beberapa lama, tepatnya di
bulan Mei 2017, kelompoknya akhirnya menerima Surat Keputusan Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (SK Pengelolaan HKM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Febriansa akhirnya bisa bernapas lega, karena kegiatan yang mereka
lakukan sudah legal dan mendapatkan izin resmi dari pemerintahan. Ia dan Pokdarwis
bisa melanjutkan kegiatan wisata hutan di Desa Kelubi dengan aman dan tenang.
Selesai dengan urusan perizinan, ternyata hadir lagi ujian lainnya. Masalah datang dari internal
Pokdarwis itu sendiri. Satu persatu anggota kelompok ini mulai berguguran dan mengundurkan
diri. Kelompok yang awalnya beranggotakan 91 orang, akhirnya hanya tersisa sekitar
20 an orang saja. Alasan utama mereka mengundurkan diri tak lain karena kegiatan yang dilakukan Pokdarwis ini dianggap tidak ada hasilnya, dan mereka
merasa itu tak sepadan dengan tenaga yang telah mereka keluarkan.
“Memanglah
dalam perjalanan hidup ini setiap orang bisa datang dan pergi sesuka hati. Kita
tidak bisa menolak dan menghindari. Namun begitu, cerita kita jangan sampai
terhenti. Tetaplah lanjut melangkah menggapai mimpi”.
Kalimat ini mengkin dapat menggambarkan apa yang ada di benak Febriansa. Menyusutnya anggota Pokdarwis tak lantas mematahkan semangatnya
untuk terus menggaungkan wisata hutan di desanya. Ia bersama anggota kelompok yang
tersisa terus melanjutkan perjuangan mereka.
Pesona Batu Begalang, The Magical Forest di Belitung Timur
Seiring berjalannya waktu, Febriansa tak ingin Pokdarwis yang
dipimpinnya hanya berkutat pada wisata hutan di Bukit Pemantauan saja. Apalagi
melihat akses menuju ke Bukit Pemantauan yang cukup sulit untuk dilalui oleh kendaraan.
Mereka lalu berencana mengembangkan wisata hutan tersebut ke area lain di kawasan
Bukit Pemantauan.
Pada tahun 2018, kelompok ini menemukan
sebuah bebatuan besar di alam terbuka yang berpotensi untuk dijadikan sebagai tujuan
wisata. Letaknya tak begitu jauh dari lokasi wisata hutan yang biasa mereka
kelola. Kira-kira 14km jarak antara keduanya. Apa yang unik dari bebatuan ini?
Ternyata hamparan bebatuan yang mereka temukan merupakan batuan granit yang
usianya sudah mencapai ratusan juta tahun.
![]() |
| Batu Begalang, bebatuan granit di hutan Desa Kelubi |
Menurut Budi Brahmantyo, seorang Pakar
Geologis ITB, batu-batu granit yang ada di Kepulauan Belitung ini berusia sekitar 208-245 juta tahun, dan sudah ada
sejak Zaman Triassic. Bebatuan ini
terbentuk dari magma yang membeku di dalam perut bumi. Patahan yang terjadi
pada lempeng bumi mengakibatkan terjadinya gempa, dan membuat bebatuan ini
bergeser hingga muncul ke permukaan tanah. Batu-batuan granit ini banyak ditemukan di Kepulauan
Belitung.
Nah, bebatuan ini juga yang kemudian ditemukan
oleh Febriansa dan kelompoknya di kawasan hutan desa mereka. Bebatuan ini
mereka namakan Batu Begalang. Ini karena formasi batu-batunya yang saling
menumpuk (begalang) hingga menyerupai bentuk sebuah kursi. Butuh waktu beberapa
tahun bagi Febriansa dan kelompoknya untuk membenahi kawasan Batu Begalang tersebut.
Ini karena masih minimnya tenaga dan dana yang mereka miliki.
Akhirnya, di pertengahan tahun 2021,
kawasan Batu Begalang ini selesai didandani. Febriansa dan kelompoknya resmi meluncurkan
dan mengumumkan kawasan Batu Begalang sebagai tempat wisata. Kehadiran wisata geosite ini disambut hangat oleh masyarakat. Mereka berduyun-duyun datang ke
lokasi wisata untuk sekadar melihat penampakan batu yang unik tersebut. Kunjungan
wisatawan bahkan melonjak tajam di setiap akhir pekan.
![]() |
| Batu Begalang, destinasi wisata geosite di Desa Kelubi, Belitung Timur |
Saat sedang berada di puncak kejayaannya, kelompok ini kembali diterpa ujian. Lagi-lagi persoalannya datang dari internal Pokdarwis tersebut. Ternyata kegiatan ini telah menimbulkan kecemburuan di antara anggota Pokdarwis. Mereka merasakan ketidakadilan antara anggota yang bertugas untuk berjaga di akhir pekan dengan anggota lain yang berjaga di hari biasa. Buntutnya, kejadian yang pernah terjadi sebelumnya kembali terulang. Beberapa anggota kelompok pun mengundurkan diri hingga hanya menyisakan belasan orang saja.
Butuh perjuangan bagi Febriansa untuk meyakinkan anggotanya agar tetap solid, kompak, dan selalu semangat membersamai segala kegiatan mereka di Pokdarwis. Namun diakui Febriansa, cukup sulit baginya untuk mempertahankan anggotanya. Apalagi hasil dari kegiatan yang mereka lakukan habis digunakan untuk menunjang keberlanjutan dan pengelolaan wisata Batu Begalang. Hanya orang yang berdedikasi tinggi dan mau berjuang demi kelestarian hutan yang mampu bertahan menjalankan kegiatan seperti ini.
Tak hanya dari internal, tantangan lain
juga datang dari eksternal Pokdarwis. Untuk diketahui, sebagai lembaga swadaya
masyarakat, Pokdarwis ini tak hanya fokus dalam mengembangkan potensi wisata di
daerah mereka saja, namun juga memiliki misi untuk melestarikan lingkungan
mereka, khususnya kawasan hutan. Saat itu kawasan hutan kemasyarakatan yang
dikelola kelompok Febriansa luasnya mencapai 385 hektar. Sisanya seluas 571 hektar
merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan (KTH). Kelompok
petani ini juga memiliki misi yang sama dengan Pokdarwis, yakni melindungi
hutan di desa mereka.
Dalam menjaga hutan, Febriansa dan
kelompoknya harus berhadapan dengan para pembalak liar, penambang ilegal, serta berseteru dengan para perambah lahan hutan. Untungnya Pokdarwis yang
diketuai Febriansa ini sudah memiliki izin resmi dan mendapat dukungan penuh
dari pihak pemerintah. Jadi walaupun deg-degan, mereka bisa melalui tantangan tersebut
dengan baik. Dukungan pun mereka dapatkan dari masyarakat dan perangkat desa,
seperti kemudahan dalam urusan administrasi dan juga pembukaan akses jalan.
Berjaga dan Berdaya di Hutan Wisata
Febriansa
tak mau egois. Tak dipungkirinya, kehilangan anggotanya satu persatu cukup
membuatnya sedih. Ia pun memikirkan jalan keluar bagaimana caranya agar anggotanya
bisa tetap bertahan di Pokdarwis. Febriansa sadar bahwa teman-temannya juga
butuh penghasilan untuk memenuhi biaya hidup. Kebanyakan dari mereka
mengandalkan pendapatan dan berharap bisa memperoleh penghasilan
tambahan dari kegiatan di Pokdarwis.
Dengan alasan inilah akhirnya Febriansa mulai memperluas kegiatan mereka. Pokdarwis yang awalnya hanya berkecimpung dalam kegiatan wisata hutan ini, akhirnya merambah ke usaha budidaya madu trigona juga. Budidaya madu dilakukan di kawasan hutan yang mereka kelola. Selain itu, mereka juga memproduksi tepung singkong, serta membantu memasarkan hasil kerajinan anyaman milik warga desa.
![]() |
| Budidaya madu Trigona di hutan Desa Kelubi |
Produk-produk tersebut mereka tawarkan kepada setiap pengunjung yang datang. Jadi selain dapat menikmati panorama hutan yang asri, pengunjung juga bisa membeli oleh-oleh atau souvenir khas dari Desa Kelubi untuk dibawa pulang. So, usai berwisata, pengunjung bisa pulang dengan hati yang gembira, Febriansa beserta teman-temannya di Pokdarwis juga ikut senang, dan warga Desa Kelubi pun bisa bersukacita. Semua puas, semua bahagia.
Febriansa bersama kelompoknya juga berencana
membuat wisata treking, kemping, paket gastronomi, serta sunrise point di
kawasan hutan. Semua
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok yang kemudian menamakan diri mereka
Kelompok Pemuda Pecinta Alam Kelubi (KEPPAK) ini telah membawa dampak yang positif
terhadap desa mereka. Tak hanya melindungi hutan, dan mengenalkan wisata hutan
di desa mereka ke dunia luar, KEPPAK juga berkontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Desa Kelubi.
Penghargaan dan Apresiasi untuk Si Penjaga Hutan Desa Kelubi
Apa yang dilakukan Febriansa bersama kelompoknya ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik warga dan perangkat desa, aktivis lingkungan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, maupun badan usaha. Kontribusi pemuda ini di bidang lingkungan, dengan konservasi hutan di Belitung Timur layak mendapatkan penghargaan dan juga apresiasi.
Febriansa pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2018. Saat itu ia berhasil meraih gelar sebagai Pemenang Pertama untuk Kategori Konservasi Alam dalam Lomba Wana Lestari yang diselenggarakan Pemprov Kepulauan Bangka Belitung. Penghargaan lain yang diperoleh Febriansa dan KEPPAK adalah saat mengikuti Lomba Wana Lestari Tingkat Nasional 2023 yang digelar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat itu KEPPAK berhasil meraih penghargaan Terbaik II dalam kategori Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Tak hanya itu, tahun lalu bahkan Febriansa menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Grup Astra. Di tahun 2024 tersebut, Febriansa memperoleh apresiasi dalam kategori Lingkungan. Kontribusi Febriansa dengan konservasi hutan di Belitung Timur, menurut pihak Astra patut mendapat dukungan dan penghargaan. Apresiasi yang diberikan ini diharapkan bisa memacu semangat Febriansa untuk terus berjuang menjaga kelestarian hutan di daerahnya.
![]() |
| Gelaran Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024 |
Sebagai informasi, Apresiasi SATU
Indonesia Awards ini sudah digelar oleh Astra sejak tahun 2010, dengan tujuan
mendukung para generasi muda yang telah berkontribusi dalam menciptakan
kehidupan berkelanjutan, baik di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan,
Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili kelima
bidang tersebut.
Semangat Febriansa dalam menjalankan konservasi hutan
di Belitung Timur sejalan dengan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU
Indonesia), untuk dapat berperan aktif dan berkontribusi nyata dalam
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia, melalui karsa, cipta, dan
karya terpadu, baik dalam bentuk produk maupun layanan karya anak bangsa, Insan
Astra yang unggul, serta kontribusi sosial yang berkelanjutan, dengan tujuan
dapat memberikan nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Semoga nantinya akan banyak lagi yang mengikuti jejak dan semangat Febriansa dalam menjaga kelestarian hutan. Hal baik apa saja yang kita lakukan, sekecil apapun itu, jika dilakukan dengan tulus sepenuh hati, konsisten, dan berkelanjutan, biasanya akan berbuah manis. Tak hanya berdampak baik bagi lingkungan dan masyarakat sekitar, namun juga bagi diri kita sendiri.
“Hutan punya
banyak cerita. Tentang cinta yang tak setara. Tentang rasa yang tak beraroma.
Adakah asa yang tersisa? Di antara ada dan tiada. Ia hanya bisa menghela.
Siapakah kita?
Referensi:
Sumber data dan
gambar: Canva, E-Booklet Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024, belitongekspres.bacakoran.co,
babel.antaranews.com, portal.beltim.go.id, belitungwonderful.com, worldwildlife.org,
babel.jadesta.com, idntimes.com.









Komentar
Posting Komentar