Setelah beberapa ratus meter berjalan, pandangan mata ku menangkap sesosok anak kecil yang sedang duduk termenung menatap rerumputan yang sepertinya enggan untuk tumbuh, mungkin karena sering diinjak, entahlah. Namun bukan itu yang menjadi perhatianku. Pandangan anak itu yang membuatku penasaran. Wajahnya yang kuyu seperti menyimpan banyak permasalahan yang berkecamuk dibenaknya. Langkahku pun terhenti sesaat. Memikirkan apakah aku akan bertanya pada si anak kecil ini atau biarkan kaki ini untuk terus melangkah dan tak menghiraukan pandangan yang menggangguku.
Tak membutuhkan waktu lama buatku untuk akhirnya memutuskan mendekati anak kecil ini, rasa penasaran lebih kuat menekan. Ketika aku sudah berdiri tepat disampingnya, aku pun langsung menyapa dan menanyakan dengan pelan agar dia tidak terlalu kaget akan teguranku. Sontak mata bocah kecil yang kuperkirakan berusia sekitar 8 tahunan ini beralih pada ku. Ada sedikit riak kaget dari sinar matanya. Ia tak langsung menjawab, seakan berpikir, bocah kecil ini langsung menundukkan kembali wajahnya menatap rerumputan. Mungkin bocah ini enggan menjawab pertanyaanku yang merupakan orang asing baginya atau ia berpikir buat apa orang asing ini repot-repot menanyakan apa yang sedang dipikirnya atau dia malah takut dan waspada karena aku bertanya padanya? Itu beberapa dugaan yang sedang menggeliat dibenakku sambil menatap bocah tadi.
Lama menunggu dan tak ada respon dari si bocah, aku pun tak lagi berharap sebuah jawaban mengucur dari bibirnya. Sambil menggedikkan bahu aku pun membalikkan tubuh untuk melanjutkkan langkahku kembali. Namun baru dua langkah aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara gumaman pelan dari belakangku. Akupun menghentikan langkah dan langsung membalikkan badan. Sambil melangkah pelan ke arah si bocah, aku menanyakan kembali, apa yang barusan ia katakan, karena memang tidak terdengar olehku tadi.
"Saya pengen sekolah", kata sibocah pelan.
"Emang kamu gak sekolah? Kenapa?", tanya ku heran. Menurutku untuk masuk sekolah negeri saat ini tidak dikenakan biaya apapun juga. Jadi semua anak bisa menempuh pendidikan walaupun cuma sampai sembilan tahun.
"Nggak bisa kak! Saya kan musti bantuin ibu nyari uang", sahut si bocah dengan wajah melas.
Deg! Jantungku langsung berdetak kencang seakan dihantam palu. Anak sekecil itu harus membantu mencari nafkah untuk keluarganya. Ya Allah! Ternyata cerita-cerita yang selama ini sering ku dengar benar adanya. Aku dengar langsung dari mulut seorang anak kecil!
Aku pun langsung duduk disebelah anak itu. Setelah berkenalan baru ku tahu kalau bocah kecil ini berusia 8 tahun dan bernama Bima, sebuah nama yang gagah seperti nama seorang tokoh pewayangan. Dari Bima menceritakan bahwa ayahnya pergi meninggalkan rumah sejak ia berumur 5 tahun dan tidak pernah kembali. Dan ia juga mempunyai 2 orang adki perempuan dengan usia 6 dan 4 tahun.
Sejak kepergian ayahnya itulah Bima diminta ibunya untuk membantu-bantu. Ibunya seorang pemulung, jadi ia disuruh ibunya ikut mengumpul apa saja yang bisa dijual.
Jadi sedari pagi ia sudah keluar bersama ibunya sambil membawa adiknya kemana-mana. Mereka berjalan sejauh kaki mereka kuat untuk melangkah. Mereka berusaha untuk mengumpulkan barang sebanyak-banyaknya agar bisa di jual ke tempat penampungan dan mereka bisa mendapatkan uang langsung. Uang itulah yang mereka pakai untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tak ada waktu baginya untuk mengenyam bangku sekolah.
Jika ia sedang memulung di depan sebuah sekolah dasar, ia selalu tercenung dan berandai-andai. Ia ingin sekali mengenyam bangku pendidikan. Suka iri melihat anak-anak lainnya yang terlihat serius belajar dan asyik bermain.
Banyak sekali yang diceritakan Bima padaku. Sepertinya uneg-uneg ini sudah lama terpendam dan dicurahkannya padaku. Bima juga menceritakan bahwa ia pernah meminta pada ibunya agar ia bisa bersekolah dengan alasan ia bisa bantu ibunya sepulang dari sekolah. Dan ibu dengan wajah sedih mengatakan bahwa beliau juga ingin anaknya bisa sekolah. Namun apa daya kehidupan perekonomian mereka tidak memungkinkan untuk itu. Uang hasil memulung habis untuk membayar rumah kontrakan yang bisa dibilang seperti gubuk dan juga buat makan mereka. Bahkan terkadang jika tidak terlalu banyak barang hasil memulung yang didapatkan ibu nya puasa makan dan membelikan makan ala kadarnya buat Bima beserta adiknya.
Tak terasa air mata ku mengalir membasahi pipi. Pilu sekali rasanya mendengarkan kisah anak malang ini. Ia punya keinginan yang kuat untuk bersekolah, namun kehidupan telah menenggelamkan semua keinginannya. Ingin sekali rasanya menolong keluarga mereka namun apalah daya ku, aku sendiri hidup pas-pasan.
Andaikan ada orang kaya yang iba pada anak ini serta keluarganya, lalu membantu mereka, alangkah bahagianya. Namun ku pikir semua itu tidak dapat menyelesaikan masalah ini. Itu mungkin hanya akan menolong Bima saja, bagaimana dengan Bima-Bima lainnya yang mungkin banyak tersebar disetiap sudut kota? Oh, andainya pemerintah memperhatikan hal ini.
Aku pun ikut duduk merenung disamping Bima. Tak berapa lama lagi akan diadakan pemilihan presiden. Aku harus pintar dalam memilih pemimpin negeri ini. Aku ingin pemimpin yang nantinya memperhatikan nasib anak-anak seperti Bima. Dan tentu saja bukan cuma 'memperhatikan' saja namun benar-benar ada hasil nyata dari keinginannya untuk mencerdaskan anak bangsa serta memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Pikiranku melayang pada salah satu buku yang aku baca beberapa hari yang lalu. Salah satu Capres/ Cawapres yang mengusung 6 Program Aksi Transformasi Bangsa yang mana salah satu isinya berbunyi seperti ini :
"Meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, social budaya serta olah raga"
Dengan salah satu sub nya mengatakan :
b. Melaksanakan wajib belajar 12 tahun dengan biaya negara, menghapus pajak buku pelajaran, menghentikan penggantian model buku pelajaran setiap tahun dan mengembangkan pendidikan jarak jauh terutama untuk daerah yang sulit terjangkau dan miskin.
Lalu salah satu visi dan misinya yang membuat aku tertarik adalah pada bagian V butir ke 4 yang memberikan jaminan social untuk fakir miskin, penyandang cacat dan rakyat terlantar.
Ada lagi yaitu dalam bagian mempercepat pembangunan infrastruktur yang pada butir 11 yang mengatakan akan mempercepat penyediaan perumahan bagi 15 juta rakyat yang belum punya rumah.
Lalu poin yang sangat saya dukung lagi adalah daam membangun perekonomian yang kuat, berdaulat, adil dan makmur. Dimana dalam butir 2 di jelaskan bahwa akan meningktakan pemerataan dan kualitas pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi jurang antara si miskin dan si kaya. Wah ini sangat keren sekali menurut saya :)
Aku pun memantapkan diri bahwa pada tanggal 9 Juli nanti aku harus mencoblos wajah Capres/Cawapres yang mempunyai konsep yang jelas tentang sistem pendidikan dan juga kesejahteraan rakyatnya agar banyak Bima-Bima yang bisa hidup nyaman dan tenteram. Tentu saja visi misi ini benar-benar akan diwujudkan secara kerja nyata dan bukan hanya sekedar pencitraan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar