Jumat, 08 Februari 2013

Pendakian Perdana Gunung Talang di Solok

Saya sangat suka sekali dengan alam. Untuk menyalurkan kecintaan saya pada alam, sedari kecil saya sudah sering ikut dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan alam, seperti kemping, hiking, sispala, atau apa saja. Sebenarnya sejak dari sekolah dasar saya ingin mengikuti kegiatan seperti kemping, tapi ortu belum memperbolehkan, masih terlalu kecil, kata beliau. Maka, ketika saya SMP baru bisa memulai berbagai kegiatan yang membuat saya bisa lebih dekat dengan alam. 

Kegiatan itu terus berlangsung sampai saya kuliah. Ada salah satu kegiatan alam yang sangat ingin saya ikuti, yaitu mendaki gunung. Namun ortu tidak memperbolehkan saya untuk mengikuti kegiatan yang berada diluar koridor sekolah atau kampus. Ortu merasa tidak aman jika anak gadisnya mengikuti kegiatan mendaki, jika tidak ada pihak sekolah atau kampus yang bertanggung jawab terhadap kegiatan tersebut. Memang kebanyakan acara mendaki gunung ini jarang sekali dijadikan sebagai kegiatan kampus.

Pada pertengahan semester, salah seorang sahabat menawarkan untuk ikut acara mendaki gunung yang diadakan oleh sepupunya. Tentu saja tawaran ini sangat menggoda saya, tapi saya terkendala izin dari ortu. Maka saya pun meminta pertolongan sahabat untuk merayu ortu, agar mengizinkan saya untuk bisa ikut. Setelah acara rayuan yang alot antara saya, sahabat, dan ortu, akhirnya ortu pun menyerah melihat keinginan saya yang teramat sangat. Dengan berbagai perjanjian dan nasehat-nasehat akhirnya saya pun dilepas untuk berangkat.

Persiapan sebelum berangkat. Karena belum ada pengalaman dalam mendaki, teman saya memberikan petunjuk apa saja yang mesti saya bawa. Diantaranya, kaos kaki yang tebal, kalau tidak ada yang tebal, bawa kaos kakinya 2 buah, roti kalo ada mag, kue kering buat ganjal perut, mie, tidak diperbolehkan bawa makanan seperti sarden atau daging, karena aromanya bisa memancing hewan buas keluar dari persembunyiannya, serta jaket tentu saja. Masih banyak lagi yang lain, seperti barang-barang standar yang biasa dibawa kalau kita kemping.

Credit by wikipedia
Oya, gunung yang akan saya daki yaitu Gunung Talang di Kabupaten Solok. Gunung ini termasuk gunung yang masih aktif, dengan ketinggian 3,1-4,1 km. Jaraknya dari Kota Padang kurang dari dua jam menggunakan kendaraan.

Untuk mencapai perkampungan yang terdekat dengan kaki gunung, kami menumpang mobil pick up yang akan menuju ke perkampungan tersebut, untuk menjemput hasil panen sayur dari ladang penduduk setempat. Sesampai di perkampungan, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki melewati pematang sawah, lapangan rumput, dan akhirnya jalanan mulai terasa menanjak. Di samping kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan ladang buah markisa. Perjalanan berakhir di ujung ladang markisa, Saya kemudian melihat sebuah rumah sederhana (seperti pondok kecil) yang terbuat dari papan, kecuali atap tentu saja, dengan posisi lantai rumah yang agak tinggi dari permukaan tanah (seperti rumah panggung). Kata teman saya itu rumah 'Bapak Gunung', begitu mereka menyebut bapak yang menjadi penjaga Gunung Talang tersebut. Kita akan menginap dirumah Bapak Gunung malam ini, karena hari sudah sore dan tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan pendakian.

Ketika matahari mulai mengintip kami sudah bersiap-siap untuk melanjutkan pendakian. Senang sekali rasanya bisa melihat alam gunung sedekat ini. Sesekali kami berhenti untuk minum dan makan kue kering yang kami bawa, sekalian beristirahat. Ketika akan meuju leher gunung, seorang teman wanita saya, yang juga perdana dalam pendakian ini, mulai menyerah, dan tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, karena medan yang sedari tadi memang menanjak terus. Dia memaksa hendak turun, namun teman-teman lelaki melarang, karena dia tidak bisa turun sendirian begitu saja. Bisa hilang nanti, kata mereka. Belum lagi perjalanan untuk turun ke bawah juga jauh sekali, jadi sama aja capeknya dengan naik. Saya pun menyemangatinya, dan akhirnya dia kami bantu dengan cara menarik tangannya dari atas, dan teman yang dibawah membantu mendorongnya untuk terus naik.

Ketika hari mulai sore, kami pun tiba di sebuah tanah datar yang lumayan luas untuk kami bisa memasang tenda. Di sini kami bertemu dengan pendaki lainnya, yang ternyata telah lebih dulu sampai. Setelah beramah tamah dengan teman sesama pendaki, para lelaki memasang tenda dan mengambil air dari sebuah lobang besar berbentuk seperti kolam dan berisi air, yang ada tak jauh dari tenda. Para wanita pun memasak mie dan mengeluarkan nasi yang sebelumnya sudah kami masak di rumah Bapak Gunung.

Malam menjelang, kami membuat api unggun, berkumpul mengelilingi api sambil makan, bermain gitar, bernyanyi, bersenda gurau, dan bermain kartu. Kabut mulai merayapi kami dengan dinginnya. Membuat kami terpaksa membubarkan diri dan masuk ke tenda masing-masing, dengan tak lupa memasang kaos kaki super tebal dan jaket. Namun mata ini agak susah terpejam karena dingin yang ternyata bisa menembus kaos kaki tebalku. Entah jam berapa saya mulai terlelap, mungkin karena kelelahan. 

Paginya saya terbangun, karena mendengar suara-suara dari luar tenda. Setelah sholat subuh, saya mulai beberes di dalam tenda. Namun tak lama berselang saya pun di panggil untuk keluar. Semua orang terlihat berkumpul di satu sisi dataran ini, rupanya mereka sibuk untuk mengabadikan sang fajar yang sebentar lagi menampakkan wajahnya. Benar saja, tak lama sang fajar mengintip dan mengusir kabut secara perlahan-lahan. Waah.. pemandangan menakjubkan yang pernah saya lihat dari atas sini. Terlihat sawah yang hijau membentang, sungai yang berliku, Danau Singkarak, Danau Diatas dan Dibawah (Danau Kembar), di tambah lagi dengan indahnya pancaran cahaya matahari pagi yang masih bersinar lembut. Semua terlihat sempurna! Saya sangat takjub menatap keindahan alam ini.

Matahari pun sudah menampakkan wajahnya secara utuh, panas mulai menerpa, kami pun puas dengan sajian alam yang terpapar. Nampak para pendaki lain sudah beberes dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Kami pun akhirnya mengikuti langkah mereka.

Rupanya tempat peristirahatan kami tadi bukanlah puncak dari gunung ini. Kami masih harus mendaki sedikit lagi ke atas untuk bisa mencapai puncaknya. Namun sesampainya dipuncak, tak ada apa pun yang bisa kami lihat kebawah karena kabut tipis yang menutupi bagian kaki bukit. Kami pun mulai menuruni gunung dengan cara memutari gunung. Jadi kami tidak lagi melewati jalan yang tadi kami tempuh untuk naik. Perjalanan menuruni gunung ini saya rasa tidak sesulit waktu mendaki, karena kita tidak perlu memaksa otot kaki untuk bekerja keras. Namun tetap saja ada cara atau trik buat menuruni gunung, dengan medan yang tandus. 

Seperti jalan yang saya lalui setelah saya melihat sebuah lobang seperti goa kecil kira-kira berdiameter 50 cm. Bibir goa ini berwarna kuning terkena belerang yang keluar dari dalam mulut goa, hawa di dekat goa ini terasa hangat. Ada perasaan takjub dan takut ketika saya melihat goa yang gelap ini. Setelah jepret-jepret di dekat goa, perjalanan kami lanjutkan, dimana jalannya melandai kebawah, tandus, tidak ada tanaman, yang ada hanya batu-batu kerikil sebesar kepalan tangan. Mungkin jalan ini bekas jalan yang dulu dilalui oleh lahar yang keluar dari lobang goa. Bagi kami yang perdana dianjurkan untuk berjalan miring atau menyamping seperti kepiting, dan membuat loncatan loncatan kecil untuk turun. Sedangkan bagi mereka yang sudah biasa, dengan enaknya meluncur turun sambil berlari-lari kecil kebawah. Dengan cara ini tentu saja mereka sampai dibawah lebih cepat.

Kami terus berjalan melewati hutan dengan pohon-pohonnya yang besar dan rimbun. Sebelum kami sampai di kaki bukit, kami bertemu dengan sungai yang airnya mengalir dari atas gunung. Airnya hangat dan berbau belerang. Katanya jika kita membasuh diri di air ini, akan bagus buat kulit, karena kandungan belerangnya. Saya dan teman-teman mulai mencelupkan kaki kedalam sungai, pertama terasa perih karena kaki saya yang lecet terkena gesekan sepatu selama pendakian. Namun lama kelamaan kaki ini terasa hangat dan sejuk. Para lelaki malah menceburkan dirinya ke sungai dan asyik berenang. Tinggallah kami para wanita yang bengong dan pengen juga berenang tapi tidak mungkin melakukannya di depan para lelaki ini *sebel XD

Sore pun menjemput. Ternyata tak terlalu jauh perjalanan dari sungai ke rumah Bapak Gunung. Sesampai di sana kami disambut oleh Bapak Gunung (yang ternyata bernama pak Yamin), dengan hidangan makanan apa adanya, tapi bagi kami yang kelaparan itu merupakan makanan yang paling lezat, yang pasti akan kami santap dengan lahap.

Usai bersantap, kami pun istirahat sambil ngobrol dengan Pak Yamin. Sedangkan saya sibuk melihat pemandangan dari jendela rumah pak Yamin yang menghadap ke bawah, ke arah ladang markisa. Tiba-tiba saya melihat dari arah bawah seperti ada jari jemari raksasa berwarna putih pekat merayap dengan perlahan-lahan menuju ke arah rumah. Saya pun berseru kaget. Melihat itu Pak Yamin langsung melihat keluar. Beliau langsung menutup semua jendela dan pintu sambil menyuruh kami memakai jaket dan kaos kaki. Ternyata itu kabut tebal yang mulai merayap menyelimuti gunung menuju puncak gunung. Ketika kabut itu datang, tak urung saya menggigil kedinginan, walaupun sudah mengenakan jaket dan kaos kaki. Pak yamin langsung memberikan sebuah selimut tebal untuk saya. Untunglah si kabut tidak berlama-lama singgah di sini, dan meneruskan perjalanannya menuju puncak gunung. Malam itu kami menginap lagi di rumah Pak Yamin.

Keesokan paginya kami pun berpamitan pada Pak Yamin. Kami mengucapkan terima kasih, dan tak lupa pula memberikan oleh-oleh ala kadarnya buat Pak Yamin atas keramah tamahannya. Perjalanan ini tak kan bisa saya lupakan. Entah kapan lagi saya bisa melakukannya. Sampai sekarang semangat untuk itu masih ada. Namun saya sudah berumah tangga dan mempunyai seorang putri kecil yang masih butuh perhatian. Kondisi yang tidak memungkinkan bagi saya untuk melakukannya sekarang. Mungkin kelak suatu hari nanti ya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar