Minggu, 15 Maret 2020

Adat ‘Menjemput’ Mempelai Pria di Padang Pariaman

Setiap masyarakat di Indonesia memiliki adat dan tradisi yang berbeda-beda. Saya pernah mendengar tradisi ngaben di Bali, karapan sapi di Madura, Nujuh bulan di Jawa, dan banyak lagi lainnya. Oya, ada juga tradisi 'Uang Japuik’ (uang menjemput) pengantin pria di Padang Pariaman.
Padang Pariaman merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang terletak di sepanjang pesisir pantai Laut Hindia, dan terletak di sebelah utara kota Padang. Banyak tradisi unik dan menarik yang terdapat di Padang Pariaman ini. Selain tradisi ‘Uang Menjemput’ juga ada satu tradisi yang sangat terkenal, yaitu ‘Tabuik’, yang merupakan sebuah arak-arakan peti pusaka yang kemudian di buang ke laut.

Credit by alfhazona.blogspot.com
Entah sejak kapan tradisi ‘Uang Menjemput’ untuk pengantin pria ini di mulai. Namun ada yang mengatakan bahwa tradisi ini dilatar belakangi oleh munculnya semacam kecaman kepada perempuan di Padang Pariaman yang sudah cukup umur, namun belum juga menikah. Sehingga para Ninik Mamak (paman dari mempelai perempuan) merasa harus mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini.

Awalnya tradisi ‘Uang Jemput’ ini hanya berlaku untuk para pria yang mempunyai gelar di Padang Pariaman, seperti gelar Sutan, Bagindo dan Sidi. Para pria yang memiliki gelar dianggap sebagai pria yang dihormati dan memiliki silsilah yang jelas di sana. Para Ninik Mamak perempaun yang ingin agar ponakannya bisa menikah dengan orang terhormat pun kemudian meminang calon menantunya dengan ‘iming-iming’ uang agar pinangannya diluluskan.

Biasanya kesepakatan mengenai ‘Uang Jemput’ ini dilakukan antara Ninik Mamak di kedua belah pihak. Seiring dengan perkembangan jaman, para Ninik Mamak tidak lagi melihat calon menantunya berdasarkan gelar adat, namun beralih ke gelar pendidikan yang di sandang dan juga pekerjaannya.

Semakin banyak gelar pendidikan yang di sandang serta semakin bagus pekerjaan yang dimilikinya, maka ‘Uang Jemput’ untuk si calon pengantin pria ini akan semakin tinggi pula. Semua tergantung dari kesepakatan para Ninik Mamak. Ninik Mamak dari pihak pria bisa menolak pinangan dari pihak perempuan, jika ‘Uang Jemput’nya tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Banyak masyarakat dari daerah lain yang memadang aneh tradisi ini. Menurut mereka hal ini tergolong tidak lazim. Mereka menganggap bahwa pria di Pariaman seperti ‘dibeli’ oleh pihak perempuan. Ada juga yang menganggap ini seperti merendahkan kaum perempuan, karena harus mengeluarkan sejumlah uang/ barang untuk mendapatkan calon suaminya.

Tapi ada juga yang beranggapan sebaliknya, tradisi ini malah seperti merendahkan kaum pria, karena kaum pria dibeli, maka para pria ini dianggap seperti ‘orang yang dibeli’ yang nantinya bisa diperlakukan sekenanya. Banyak sekali pendapat diluaran yang menganggap tradisi ini tidak pantas.

Seperti kisah salah seorang muda mudi yang hidup di Padang Pariaman. Mereka sudah lama berpacaran. Yang perempuan berasal dari keluarga biasa, sedangkan yang pria dari keluarga berada. Mereka akhirnya tidak bisa menikah karena pihak perempuan tidak sanggup memberikan ‘Uang Jemput’ pada pihak pria. Ini sungguh menyedihkan, seperti kisah Romeo dan Juliet yang tidak bisa bersatu karena berbeda harta dan kedudukan :(

Tak jarang kemudian si pria yang kadung suka sama sang perempuan, menyiasati hal ini. Dia memberikan sejumlah uang/ barang pada si perempuan secara diam-diam. Dan kemudian si perempuan akan menggunakannya sebagai ‘Uang Jemput’ untuk meminang pihak pria :)

Seiring dengan perkembangan jaman, tradisi ‘Uang Jemput’ ini mulai berkurang. Para Ninik Mamak yang sudah berpikiran modern, tidak lagi menggunakan cara atau tradisi ini, karena menganggap tabu masalah ‘Uang Jemput’. Mereka biasanya sudah sepakat untuk membagi sama rata semua biaya perhelatan yang hendak dilangsungkan. Seperti misalnya pihak pria menyediakan semua perabotan dan pihak perempuan yang menyediakan pestanya. Bahkan ada juga pihak pria yang menyiapkan semuanya, baik perabotan maupun untuk pesta.

Namun tidak dapat dipungkiri, tradisi ‘Uang Jemput’ ini masih berlangsung hingga sekarang. Beda daerah, beda pula adat dan tradisinya. Kewajiban kita semua untuk menghormati semua tradisi dan adat yang ada. Semua tergantung dari pasangan tersebut untuk menyiasati tradisi ini, agar tetap bisa melangsungkan pernikahan, tanpa harus melanggar adat dan tradisi di daerahnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar